THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Selasa, 31 Januari 2012

PUTRA SANG FAJAR DAN PARA ULAMA

Berikut ini adalah kisah dan cerita tentang hubunngan antara founding father of Indonesia, Soekarno dengan para ulama, dimana beliau dalam perjalanan hidupnya selalu terkait erat dengan para ulama, terlepas dari segala kontroversi dan image negatif yang sengaja disebarkan untuk menjelek-jelekan namanya, Soekarno tetap berkesan di mata para ulama, karena beliau-lah Presiden RI yang selalu meminta petuah para ulama ketika akan memutuskan suatu masalah. Berikut ini kisah-kisahnya.

Sukarno dan mati senyum


Pencarian Bung Karno dan mati tersenyum 
(Dialog Bung Karno dengan ulama sufi Syekh Kadirun Yahya)
Suatu hari, pada sekitar bulan Juli 1965, Bung Karno berdialog dengan Kadirun Yahya, anggota dewan kurator seksi ilmiah Universitas Sumatra Utara (USU).
Bung Karno (BK): Saya bertanya-tanya pada semua ulama dan para intelektual yang saya anggap tahu, tapi semua jawaban tidak ada yang memuaskan saya, en jij bent ulama, tegelijk intellectueel van de exacta en metaphysica-man.
Kadirun Yahya (KY): Apa soalnya Bapak Presiden?
BK: Saya bertanya lebih dahulu tentang hal lain, sebelum saya memajukan pertanyaan yang sebenarnya. Manakah yang lebih tinggi, presidentschap atau generaalschap atau professorschap dibandingkan dengan surga-schap?
KY: Surga-schap. Untuk menjadi presiden, atau profesor harus berpuluh-puluh tahun berkorban dan mengabdi pada nusa dan bangsa, atau ilmu pengetahuan, sedangkan untuk mendapatkan surga harus berkorban untuk Allah segala-galanya berpuluh-puluh tahun, bahkan menurut Hindu atau Budha harus beribu-ribu kali hidup baru dapat masuk nirwana.
BK: Accord, Nu heb ik je te pakken Proffesor (sekarang baru dapat kutangkap Engkau, Profesor.) Sebelum saya ajukan pertanyaan pokok, saya cerita sedikit: Saya telah banyak melihat teman-teman saya matinya jelek karena banyak dosanya, saya pun banyak dosanya dan saya takut mati jelek. Maka saya selidiki Quran dan hadist. Bagaimana caranya supaya dengan mudah menghapus dosa saya dan dapat ampunan dan mati senyum; dan saya ketemu satu hadist yang bagi saya sangat berharga.
Bunyinya kira-kira begini: Seorang wanita pelacur penuh dosa berjalan di padang pasir, bertemu dengan seekor anjing yang kehausan. Wanita tadi mengambil segayung air dan memberi anjing yang kehausan itu minum. Rasulullah lewat dan berkata, “Hai para sahabatku, lihatlah, dengan memberi minum anjing itu, terhapus dosa wanita itu di dunia dan akhirat dan ia ahli surga!!! Profesor, tadi engkau katakan bahwa untuk mendapatkan surga harus berkorban segala-galanya, berpuluh tahun itu pun barangkali. Sekarang seorang wanita yang banyak berdosa hanya dengan sedikit saja jasa, itu pun pada seekor anjing, dihapuskan Tuhan dosanya dan ia ahli surga. How do you explain it Professor? Waar zit‘t geheim?
Kadirun Yahya hening sejenak lalu berdiri meminta kertas.
KY: Presiden, U zei, dat U in 10 jaren’t antwoor neit hebt kunnen vinden, laten we zein (Presiden, tadi Bapak katakan dalam 10 tahun tak ketemu jawabannya, mari kita lihat), mudah-mudahan dengan bantuan Allah dalam dua menit, saya dapat memberikan jawaban yang memuaskan.
Bung karno adalah seorang insinyur dan Kadirun Yahya adalah ahli kimia/fisika, jadi bahasa mereka sama: eksakta.
KY menulis dikertas:10/10 = 1.
BK menjawab: Ya.
KY: 10/100 = 1/10.
BK: Ya.
KY: 10/1000 = 1/100.
BK: Ya.
KY: 10/bilangan tak berhingga = 0.
BK: Ya.
KY: 1000000/ bilangan tak berhingga = 0.
BK: Ya.
KY: Berapa saja ditambah apa saja dibagi sesuatu tak berhingga samadengan 0.
BK: Ya.
KY: Dosa dibagi sesuatu tak berhingga sama dengan 0.
BK: Ya.
KY: Nah…, 1 x bilangan tak berhingga = bilangan tak berhingga. 1/2 x bilangan tak berhingga = bilangan tak berhingga. 1 zarah x bilangan tak berhingga = tak berhingga. Perlu diingat bahwa Allah adalah Mahatakberhingga. Sehingga, sang wanita walaupun hanya 1 zarah jasanya, bahkan terhadap seekor anjing sekali pun, mengkaitkan, menggandengkan gerakkannya dengan Yang Mahaakbar, mengikutsertakan Yang Mahabesar dalam gerakkannya, maka hasil dari gerakkannya itu menghasikan ibadat paling besar, yang langsung dihadapkan pada dosanya yang banyak, maka pada saat itu pula dosanya hancur berkeping keping. Hal ini dijelaskan sebagai berikut: (1 zarah x tak berhingga)/dosa = tak berhingga.
BK diam sejenak lalu bertanya: Bagaimana ia dapat hubungan dengan Sang Tuhan?
KY: Dengan mendapatkan frekuensinya. Tanpa mendapatkan frekuensinya tidak mungkin ada kontak dengan Tuhan. Lihat saja, walaupun 1mm jaraknya dari sebuah zender radio, kita letakkan radio kita dengan frekuensi yang tidak sama, radio kita tidak akan mengeluarkan suara dari zender tersebut. Begitu juga, walaupun Tuhan dikabarkan berada lebih dekat dari kedua urat leher kita, tidak mungkin kontak jika frekuensinya tidak sama.
BK berdiri dan berucap: Professor, you are marvelous, you are wonderful, enourmous. Kemudian dia merangkul KY dan berkata: Profesor, doakan saya supaya saya dapat mati dengan senyum di belakang hari.
Beberapa tahun kemudian, Bung karno meninggal dunia. Resensi-resensi harian-harian dan majalah-majalah ibukota yang mengkover kepergian beliau, selalu memberitakan bahwa beliau dalam keadaan senyum ketika menutup mata untuk selama-lamanya.
Catatan:
Nama lengkap yang berdialong dengan Bung Karno adalah Prof. Dr.H.SS. Kadirun Yahya MA, Msc, Rektor Universitas Pembangunan Panca Budi Medan, Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Uraian tentang riwayat beliau pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/09/syekh-kadirun-yahya/
sumber : mutiarazuhud.wordpress.com

Seri Akhlaq Orang NU – BUNG KARNO DAN FATHUL QORIB

Walaupun judul tulisan ini cenderung ke-NU-an, namun isinya layak dicermati oleh berbagai kalangan. Khususnya, warga NU sendiri, baik yang organisatoris ataupun yang sekedar pendherek di lingkungan Nahdlatul Ulama, agar mengenal akhlaq para pembesarnya. Adapun kisah Keteladanan Para Ulama ini sengaja alfaqir sadur dari buku Cermin Bening dari Pesantren; Potret keteladanan Para Kiai, susunan Rijal Mumazziq Zionis, salah seorang Redaktur Majalah AULA NU. Sedangkan tulisan di bawah tanda OOOOOOOOO merupakan pengalaman dan penilaian alfaqir sendiri.
BUNG KARNO DAN FATHUL QORIB
Setelah beberapa kali diadakan perundingan untuk menyelesaikan masalah Irian Barat dan selalu gagal, Bung Karno menghubungi KH Wahab Hasbullah (Rais ‘Aam Nahdlatul Ulama) di Jombang. Bung Karno menanyakan bagaimana hukumnya orang-orang Belanda yang masih bercokol di Irian Barat.
Kiai Wahab menjawab tegas, “Hukumnya sama dengan orang yang ghoshob.”
“Apa artinya ghoshob, Kiai?” Tanya Bung Karno.
“Ghoshob itu istihqaqu malil ghair bi ghairi idznihi; menguasai hak milik orang lain tanpa ijin,” terang Kiai Wahab.
“Lalu bagaimana solusi menghadapi orang yang ghoshob?” Tanya Bung Karno lagi.
“Adakan perdamaian,” tegas Kiai Wahab.
Lalu Bung Karno bertanya lagi, “Menurut insting Kiai, apakah jika diadakan perundingan damai akan berhasil?”
“Tidak,” jawab Kiai Wahab.
“Lalu, kenapa kita tidak potong kompas saja, Kiai?” Tanya Bung Karno sedikit memancing.
“Tak boleh potong kompas dalam syari’ah.” Kata Kiai Wahab.
Selanjutnya, Bung Karno mengutus Soebandrio mengadakan perundingan yang terakhir kali dengan Belanda untuk menyelesaikan konflik Irian Barat. Perundingan ini akhirnya gagal. Kegagalan ini disampaikan Bung Karno kepada Kiai Wahab.
“Kiai, apa solusi selanjutnya menyelesaikan masalah Irian Barat?”
“Akhodzahu Qohron! Ambil, kuasai dengan paksa!” jawab Kiai Wahab tegas.
“Sebenarnya, apa rujukan Kiai untuk memutuskan masalah ini?”
“Saya mengambil literatur kitab Fathul Qorib dan syarahnya (Al-Bayjuri).”
Setelah itu, barulah Bung Karno membentuk barisan Trikora (Tiga Komando Rakyat) untuk diberangkatkan merebut Irian Barat.
Kita bisa membayangkan, jika Fathul Qorib dan Al-Bayjuri yang notabene merupakan kitab fikih dasar di pesantren dan madrasah diniyyah, bisa dikontekstualisasikan untuk menyelesaikan masalah internasional seperti kasus Irian Barat, bagaimana dengan kitab-kitab lain yang level pembahasannya lebih tinggi, kompleks dan mendalam?
OOOOOOOOO
Saya jadi teringat, pernah suatu hari, di sudut masjid kota Jakarta, saya berbincang dengan seseorang yang sudah berhasil menghapal separuh kitab suci Al-Quran dengan otodidak. Subhanallah. Luar biasa.
Beliau mengatakan,
“Dulu, ketika saya masih kecil di kampung, tiap sore saya masuk madrasah, mempelajari kitab kuning. Namun kini, saya sadar, semua itu sungguh membuang waktu, kenapa tidak langsung kita mengkaji Al-Quran dan Hadits? Bukankah sumber hukum kita adalah Al-Quran dan Hadits? Mengapa harus memakai sumber hukum dari kitab kuning itu?”
Saya hanya manggut-manggut mendengarkannya dan hanya mampu bergumam dalam hati,
“Kalau panjenengan mau memahami kajian-kajian dalam kitab-kitab kuning itu dengan baik, dan mau melanjutkan ke jenjang kitab yang lebih dalam pembahasannya, saya yakin, penjenengan akan sadar bahwa merujuk kitab kuning pada esensinya juga merujuk kepada al-Quran dan Hadits. Sebab, kitab kuning adalah pengejawantahan konsep-konsep dari dalam Al-Quran dan Hadits Rasulillah yang digali lantas dituangkan oleh Ulama Salaf yang mengarang kitab itu.
Nah, kenapa kitab-kitab aqidah maupun fiqh yang dasar seperti Aqidatul ‘Awwam, Jawahirul Kalamiyyah, Safinatun Najah, Sullamut Taufiq, maupun kitab adab dasar seperti Bidayatul Hidayah terlihat sangat tipis tanpa ada dalil lengkap dari ayat Al-Quran dan Hadits Nabi di dalamnya? Ya supaya memudahkan kita-kita ini yang pemula. Lha kalo panjenengan mau lanjutin ke kitab yang lebih lengkap dan mencantumkan dasar pengambilan hukumnya… Ya musti lewatin dulu kitab-kitab dasar itu… dan musti punya guru yang membimbing.”
Haaaah, namun argumentasi saya itu hanya tersuarakan dalam dada. Karena saya tahu betul, lawan bicara saya ini mengatakan hal itu bukan untuk ‘menggali kebenaran’ secara ilmiah, tetapi hanya untuk sekedar menumpahkan unek-uneknya.
Dan saya juga khawatir, kalau saya kebanyakan ngomong tentang agama, apalagi tentang kitab-kitab fiqh salaf lengkap dengan keluasan ilmu para mujtahid terdahulu, nanti malah beliau bertanya,
“Memangnya kamu sudah hapal berapa juz dari Al-Quran?”
Pasti saya hanya bisa tersipu malu :”)
sumber : ngopibarengsantri.wordpress.com


Ber-Nuzulul Qur’an Bersama Bung Karno
Bagian kedua dari dua tulisan
Oleh Faiz Manshur


http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=183585:
Kamis, 4 Oktober 2007
Terlepas dari faktor-faktor politik, Al-Qur’an bagi seorang Soekarno adalah kitab suci yang sakral. Apakah bagi seorang yang menyakralkan sesuatu (Al-Qur’an) seperti Bung Karno lantas menjadi seorang Muslim yang dogmatis?
Bung Karno tidak tepat jika disebut pemeluk Islam dogmatis, seperti halnya kaum fundamentalis. Alasannya, ia percaya nalar kritis sebagai upaya memahami Al-Qur’an.
Sakralitas Bung Karno terhadap Al-Qur’an justru dimaknai sebagai bentuk penghargaan untuk tidak gegabah, dan mengedepankan pendekatan tekstual dalam memahami Al-Qur’an. Ia selalu melihat Al-Qur’an punya kekuatan yang dahsyat, sehingga seseorang tidak boleh sembarangan menafsirkan dan menerapkan tanpa landasan pengetahuan yang memadai.
Bagaimana cara memahami Al-Qur’an menurut Bung Karno? Bung Karno bukanlah seorang penafsir Al-Qur’an. Ia hanya mengaku sebagai seorang Muslim, seorang awam yang terus berupaya konsisten mengamalkan ajaran Islam. Lalu apa alasan dirinya mengatakan Al-Qur’an sebagai kita suci yang maha hebat?
Pertama, Bung Karno lebih melihat Al-Qur’an sebagai kitab sejarah. Dalam konteks ini, ia sering membandingkan dengan ilmu pengetahuan, atau kitab suci lain. Sejauh mana Al-Qur’an memengaruhi perubahan dunia?
Sebagai seorang kutu buku, Bung Karno memiliki berbagai alasan untuk mengatakan Al-Qur’an sebagai kitab yang hebat. Ia paling suka mengutip pendapat ilmuwan-ilmuwan Barat tentang Al-Qur’an. Jika komentar itu sifatnya positif, ia akan kabarkan kepada seluruh rakyat Indonesia berulang-ulang dan dengan nada provokatif yang membuat orang merasa yakin akan pendapat Bung Karno. Namun jika ada pendapat nonmuslim itu cenderung tendensius, menghujat Islam, merendahkan Al-Qur’an, bahkan menghina Nabi, Bung Karno tak segan-segan menyerangnya dengan argumentasi yang sekiranya membuat pernyataan para penghujat itu irasional.
Kedua, Bung Karno punya keyakinan bahwa para ulama, imam-imam besar dalam Islam, seperti Imam Hambali, Hanafi, Syafii dan Maliki, mumpuni. Bagi Bung Karno, imam-imam ini sudah cukup dijadikan sandaran dalam menjalankan ajaran Islam. Sebab yang dimaksud ijtihad menurut dia adalah “bersungguh-sungguh menyelidiki, bersungguh-sungguh investigasi, bersungguh-sungguh memeriksa, bersungguh-sungguh memikirkan.”
Sejarah ijtihad bagi Bung Karno sudah cukup di tangan para imam-imam Islam tersebut. Karena itu, ketika menanggapi tuntutan ijtihad dari mahasiswa-mahasiswa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Bung Karno berpesan agar tidak usah repot-repot memikirkan ijtihad. Katanya, “Sudah, jangan pikir! Jangan selidiki! Ini imam-imam besar sudah habis-habisan menyelidiki, memikirkan, menganalisis. Ikut sajalah salah satu daripada imam-imam itu. Dan itulah yang dinamakan mazhab,” ujarnya berapi-api.
Dari sini kita bisa melihat, bahwa pemahaman Bung Karno tentang pemikiran Islam tampak konvensional, seperti pandangan ulama-ulama di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Dengan kata lain, pemahaman Islam Bung Karno dalam hal syariat tampaknya tidak terlalu neko-neko, apalagi diarahkan pada politik praktis, menegakkan syariat Islam atau negara Islam.
Yang Bung Karno harapkan dari umat Islam adalah membangkitkan kembali semangat keislaman yang menurutnya adalah agama revolusioner. Dengan semangat ajaran Islam, Bung Karno menilai umat Islam di Indonesia belum sepenuhnya mampu menangkap api atau ruh Islam yang sesungguhnya.
Ajaran Islam di Indonesia memang dipraktikkan setiap hari oleh jutaan pemeluknya, namun praktik keislaman masih sebatas dalam urusan ritual. Ia katakan, “Tidak ada gunanya kita satu hari duduk di dalam masjid putar tasbih (baca) “Allahu Akbar, Allahu Akbar”, kalau tidak betul-betul di dalam kita punya hati, kita berbuat.”
Bung Karno melihat Islam adalah agama revolusioner yang sanggup menjadi spirit perubahan, api revolusi bagi pembebasan kaum tertindas. Karena itu, Islam harus dimengerti sebagai agama amal kebajikan, membela kebenaran, membela kaum mustad’afin (proletar), menegakkan keadilan, memakmurkan rakyat Indonesia dan berani melawan kolonialis/imperialisme.
Menurut dia, kejayaan Islam bukan disebabkan oleh kekuatan pedang, atau untuk zaman sekarang bom dan dinamit. Islam menjalar dari tempat kecil menjadi satu agama besar, karena kekuatan ajaran yang konsisten menegakkan kebenaran, kekuatan hak, kekuatan kesucian. Dari sini kita bisa mencerna makna “Api Islam” yang dimaksud Bung Karno adalah, menciptakan negara/bangsa yang gemah ripah loh jiwani, tata tentrem kerta raharja; baldatun tayyibbatun wa rabun gafur.
Dari prinsip di atas, kita dapat melihat keinginan besarnya untuk menjadikan Islam sebagai agama berbasis nilai (bukan formalitas), nilai ideologis, nilai humanis, dan seterusnya. Kita tahu, selain sebagai seorang Muslim, Bung Karno juga kental menganut ideologi nasionalisme dan Marxisme (Nasakom). Ini juga memberikan kesaksian, bahwa Bung Karno tidak melihat Islam sebagai ajaran eksklusif dari ajaran lain, melainkan bisa disandingkan, dipadukan sebagai kekuatan bersama.
Yang menarik dari Bung Karno adalah, kesadaran akan iman kepada agama, kepada Tuhan, kepada Al-Qur’an tidak sertamerta membuat orang antipati terhadap perbedaan ajaran. Bahkan dari sikap keimanan yang kuat, justru seseorang akan fleksibel menerima perbedaan. Api Islam menurut Bung Karno bukan untuk tujuan melawan kaum kafir (beda agama), melainkan sebagai inspirasi amal kebajikan, menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.
Jelaslah bahwa Bung Karno lebih memilih persoalan rakyat, persoalan bangsa dan persoalan kemanusiaan lebih utama ketimbang sekadar mementingkan umat Islam. Sebab Bung Karno sadar bahwa inti ajaran Islam adalah rahmatan lil alamin, bukan rahmatan lil Islam. (Habis)***
sumber : http://faizmanshur.wordpress.com

0 komentar: