THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Jumat, 03 September 2010

LAKSA, Si Kuah Kuning

Laksa yang umum ada di Indonesia









Laksa adalah mie yang berkuah gurih dan pedas, yang merupakan warisan kuliner budaya Peranakan, yang merupakan campuran dari unsur China dan Melayu yang banyak ditemui di Indonesia, Malaysia dan Singapura.

Asal-usul nama "laksa" tidak  begitu jelas. Ada tiga teori :
[1] berasal dari bahasa Hindi = lakhshah, merujuk pada jenis sohun.  
[2] Kata "laksa" berasal dari kata China "sha la" (辣 沙; diucapkan "latsa" dalam bahasa Kantonis), yang berarti "pasir gurih" dikarenakan udang air tawar memberikan tekstur berpasir untuk sausnya.
[3] Teori terkini adalah bahwa nama itu berasal dari kata bahasa Hokkien yang berarti  "kotor" dikarenakan penampilannya.

Tipe-Tipe Laksa
Ada dua tipe laksa yaitu : Laksa Kari dan Laksa Asam.
Laksa Kari adalah laksa yang berkuah santan yang dicampur dengan mie, sedangkan Laksa Asam adalah laksa dengan kuah ikan yang asam dicampur dengan mie. Mie yang tebal dari beras juga dikenal sebagai Laksa Mie sering kali digunakan sebagai campuran dari kuah Laksa, walaupun bihun/mihun juga biasa digunakan sebagai bahan campuran laksa.



LaksaKari

Laksa Sarawak

Semangkuk Laksa Penang, salah satu laksa asam.

Laksa Johor




Laksa Kari (di berbagai tempat seringkali disebut secara singkat “laksa”) adalah sup yang berkuah dengan bahan dasar santan kelapa. Bahan utama dari berbagai macam versi dari Laksa Kari, termasuk  tahu, potongan daging ikan, udang and kerang. Beberapa pedagang juga menyediakan laksa ayam. Laksa biasanya disajikan dengan satu senidok penuh sambal cabai dan ditaburi ketumbar Vietnam atau kucai, yang di Malaysia biasanya disebut daun kesum.
Di Penang, laksa jenis ini biasanya disebut Mie Kari dibandingkan dengan sebutan Laksa Kari, dikarenakan perbedaan penggunaan dari Mie (mie kunig atau bihune hoon, kebalikan dari mie laksa yang berwarna putih dan tebal). Mie kari - Penang menggunakan darah babi beku, yang dianggap lezat oleh masyarakat keturunan Cina. Dua tempat yang terkenal untuk mencicipi mi kari yang lezat adalah di Lorong Seratus Tahun and Chulia Street.
Istilah "laksa kari" sering digunakan di Kuala Lumpur atau Singapura. Laksa  populer di Indonesia, Singapore dan Malaysia, seperti juga laksa young tau foo, lobster laksa, bahkan  juga Laksa Polos, yang hanya terdiri dari  mie dan saus.

Laksa assam

  • Laksa Pulau Pinang,juga dikenal sebagai assam laksa
  • Laksa Johor, berasal dari negara bagian Johor
  • Laksa Ipoh, berasal Ipoh, Malaysia, mirip Laksa Penang tetapi lebih asam
  • Laksa Kuala Kangsar
  • Laksa Perlis
  • Laksa Kedah
  • Laksa Kelantan

Laksa lainnya

  • Laksa Serawak, berasal dari Sarawak di pulau Kalimantan.
  • Laksa Bogor, berasal dari Bogor dan menggunakan oncom
  • Laksa Betawi, hampir mirip dengan Laksa Bogor tapi kuah Laksa Betawi memakai udang rebon.
  • Laksa Palembang, yang berbahan sama seperti burgo, pada lakso bentuknya menyerupai mie. Sama halnya dengan kuah burgo, lakso juga dimakan bersama kuah santan, hanya yang membedakan kuahnya memakai kunyit dan dicampur dengan bumbu lainnya.

(sumber : wikipedia.com)

Rabu, 01 September 2010

Masjid Agung Banten

Bismillahirahmanirrahiim

Berbicara mengenai Banten, tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Masjid Agung Banten yang monumental itu. Berikut ini profil singkat dan gambar Masjid Agung Banten yang bersumber dari : www.bantenculturetourism.com

ASAL USUL NAMA "BANTEN"

Bismillahirrahmanirrahiim

Sejarah Nama Banten

Suku Banten atau lebih tepatnya orang Banten adalah penduduk asli yang mendiami bekas daerah kekuasaan Kesultanan Banten di luar Parahyangan, Cirebon, dan Jakarta. Menurut sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2000, suku Banten populasinya 2,1% dari penduduk Indonesia.
ORANG Banten menggunakan bahasa Banten. Bahasa Banten adalah salah satu dialek bahasa Sunda yang lebih dekat kepada bahasa Sunda kuno, pada tingkatan bahasa Sunda modern dikelompokkan sebagai bahasa kasar. Bahasa ini dilestarikan salah satunya melalui program berita Beja ti Lembur dalam bahasa Banten yang disiarkan siaran televisi lokal di wilayah Banten.
 
Kata Banten muncul jauh sebelum berdirinya Kesultanan Banten. Kata ini digunakan untuk menamai sebuah sungai dan daerah sekelilingnya yaitu Cibanten atau sungai Banten. Rujukan tertulis pertama mengenai Banten dapat ditemukan pada naskah Sunda Kuno Bujangga Manik yang menyebutkan nama-nama tempat di Banten dan sekitarnya sebagai berikut:
 
Tanggeran Labuhan Ratu, Ti kaler alas Panyawung, tanggeran na alas Banten, Itu ta na gunung (...)ler, tanggeran alas Pamekser, nu awas ka Tanjak Barat, Itu ta pulo Sanghiang, heuleut-heuleut nusa Lampung, Ti timur pulo Tampurung, ti barat pulo Rakata, gunung di tengah sagara. Itu ta gunung Jereding, tanggeran na alas Mirah, ti barat na lengkong Gowong, Itu ta gunung Sudara, na gunung Guha Bantayan, tanggeran na Hujung Kulan, ti barat bukit Cawiri. Itu ta na gunung Raksa, gunung Sri Mahapawitra, tanggeran na Panahitan.
 
Dataran lebih tinggi yang dilalui sungai ini disebut Cibanten Girang atau disingkat Banten Girang. Berdasarkan riset yang dilakukan di Banten Girang pada 1988 dalam program Franco-Indonesian excavations, di daerah ini telah ada pemukiman sejak abad ke 11 sampai 12 (saat kerajaan Sunda). Berdasarkan riset ini juga diketahui bahwa daerah ini berkembang pesat pada abad ke-16 saat Islam masuk pertama kali di wilayah ini. Perkembangan pemukiman ini kemudian meluas atau bergeser ke arah Serang dan ke arah pantai. Pada daerah pantai inilah kemudian didirikan Kesultanan Banten oleh Sunan Gunung Jati. Kesultanan ini seharusnya menguasai seluruh bekas Kerajaan Sunda di Jawa Barat. Hanya saja SUnda Kalapa atau Batavia direbut oleh Belanda sera Cirebon dan Parahyangan direbut oleh Mataram. Daerah kesultanan ini kemudian diubah menjadi keresidenan pada zaman penjajahan Belanda.
 
Orang asing kadang menyebut penduduk yang tinggal pada bekas keresidenan ini sebagai Bantenese yang mempunyai arti "orang Banten". Contohnya, Guillot Claude menulis pada halaman 35 bukunya The Sultanate of Banten: "These estates, owned by Bantense of Chinese origin, were concentrated around the village of Kelapadua." Dia menyatakan bahwa keturunan Cina juga adalah Bantenese atau penduduk Banten.
 
Hanya setelah dibentuknya Provinsi Banten, ada sebagian orang menerjemahkan Bantenese menjadi suku Banten sebagai kesatuan etnik dengan budaya yang unik.

Sumber : Banten Culture dan Tourism.com

Resensi Buku Sayyid Ulama Hijjaz

Syekh Nawawi Banten: The Great Scholar Ulama-ulama Indonesia 

sumber : NU Online

Ada beberapa nama yang bisa disebut sebagai tokoh kitab kuning Indonesia. Sebut misalnya; Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Abdus Shamad al-Palimbani, Syekh Yusuf al-Makassari, Syekh Syamsudin as-Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniri, Syekh Ihsan al-Jampesi, dan Syekh Muhammad Mahfudz at-Tirmasi. Mereka ini termasuk kelompok ulama yang diakui tidak hanya di kalangan pesantren di Indonesia, tapi juga di beberapa universitas di luar negeri.

Bahkan, konon banyak ulama dan pakar bahasa Arab, termasuk ulama Al-Azhar, yang tidak segera percaya saat mereka tahu bahwa pengarang kitab Amtsilah at-Tashrifiyyah adalah Kiai Makshum Ali dari Jombang, Indonesia, yang dimaklumi tidak menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa ibu. Kitab Ilmu Tashrif (konjugasi) ini terkenal karena dapat menjelaskan proses bentukan kata dan tata matra (wazan) secara ringkas.

Selain Kiai Makshum Ali, juga ada Kiai Ihsan bin Dahlan Jampes dari Kediri. Dengan karya monumentalnya yang berjudul Sirajut Thalibin sebagai kitab syarah (penjelas) dari Minhajul ’Abidin-nya Al-Ghazali, mampu membuat penasaran para penggemar “etika al-Ghazali” di Eropa, karena mereka mengakui doktrin-doktrin Imam al-Ghazali yang begitu rumit namun dengan gamblang diuraikan oleh Kiai Ihsan. Bahkan ketika kitab Siraj terbit dan beredar di dalam maupun di luar negeri, datanglah utusan raja Faruq dari Mesir yang meminta Kiai Ihsan untuk mengajar di Universitas al-Azhar. Akan tetapi, beliau menolak tawaran tersebut dan lebih memilih untuk tetap tinggal di Indonesia.

Begitu pula yang terjadi dengan Syekh Imam Nawawi al-Bantani. Beliau adalah satu dari tiga ulama asal Indonesia yang diizinkan mengajar di Masjidil Haram di Makkah, dan di antara ketiganya, beliaulah yang di anugerahi gelar Sayyid Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Dan juga satu-satunya ulama Indonesia yang namanya tercantum dalam literatur-literatur Arab yang sangat masyhur, antara lain dalam kamus Al-Munjid karya Louis Ma’luf yang terkenal itu.

Nama Syekh Nawawi sangat lekat di kalangan kiai dan santri di Indonesia, karena hampir semua kiai di Jawa dan Indonesia secara umum memiliki geneologi intelektual yang sama-sama bermula darinya. Diantara muridnya yaitu; KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Kiai Mahfudz Tremas, Kiai Asnawi Kudus, Kiai Ahmad Khatib al-Minangkabawi, dan Kiai Kholil Bangkalan, dan masih banyak yang lainnya.

Yang perlu digarisbawahi di sini adalah, bahwa dikalangan ulama dan pengarang Islam dikenal dua nama Nawawi. Keduanya sama-sama ulama dan pengarang besar. Pertama adalah Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Birri bin Hasan bin Husaini Mukhyiddin an-Nawawi as-Syafi’i. Dia adalah seorang Ulama Syafi’iyyah yang lahir dan wafat di Nawa, Damsyiq. Dia dikenal sebagai Imam Nawawi dan hidup sekitar abad ke-13 Masehi. (hlm. 9).

Yang kedua adalah Abu Abd al-Mu’thi Muhammad ibn Umar ibn Arabi ibn Nawawi al-Jawi al-Bantani at-Tanari. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1230 H/1815 M. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M beliau wafat dalam usia 84 tahun dan dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin, istri Nabi Muhammad SAW. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa, Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawal selalu diadakan acara Haul beliau.

Ayahnya bernama Kiai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far al-Shodiq, Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.

Mengenai kiprahnya di kalangan komunitas pesantren, Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati. Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH Hasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya.

Maka dengan mengangkat kembali wacana produktifitas ulama Indonesia, buku ini menyajikan biografi singkat Syekh Nawawi. Setidaknya ada beberapa manfaat yang diharapkan sebagaimana yang diinginkan buku ini. Pertama, untuk memberikan informasi yang lebih luas mengenai Syekh Nawawi; sejarah hidup, jasa-jasanya dalam penyebaran agama Islam, dan karya-karyanya yang fenomenal yang sampai sekarang dijadikan rujukan beberapa pesantren di Indonesia. Kedua, untuk mengungkap secara lebih mendalam pemikiran-pemikiran dakwahnya, terutama dalam kitab Tafsir al-Munir-nya. (Hlm. 82-93)

Memperhatikan karya-karya Syekh Nawawi, dia dikenal memegang teguh dan mempertahankan traidisi keilmuan klasik, suatu tradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara evolutif dalam pembentukkan keilmuan agama Islam. Besarnya pengaruh pola pemahaman dan pemikiran Syekh Nawawi terhadap para tokoh ulama di Indonesia, dapat dikatakan ia adalah poros dari akar tradisi keilmuan pesantren dan NU. Untuk itu buku yang di tulis Samsul Munir Amin ini sepatutnyalah mendapatkan perhatian dan apresiasi serius oleh kader-kader NU sekarang yang rata-rata ansich bergelut dalam dunia politik praktis dan melupakan tradisi keagamaan pendahulunya.

Buku setebal 128 halaman ini di-frame, dikemas dengan konsep ilmiah populer karena memang sebelumnya buku ini adalah hasil skripsi penulis. Meskipun demikian, bahasa yang digunakan buku ini tetap mudah dipahami oleh kaum awam sekalipun. Sebuah buku yang membahas biografi mahaguru sejati (the great scholar) ulama-ulama Indonesia.

Sumber : www.nu.or.id
Resensi Buku yang berjuddul : Sayyid Ulama Hijaz; Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani
Penulis : Samsul Munir Amin
Penerbit : Pustaka Pesantren, LKiS Yogyakarta
Halaman : xiv + 128 halaman
Cetakan : I, Februari 2009
Peresensi : Anwar Nuris*


*Peresensi adalah Ketua Umum IKMAS (Ikatan Mahasiswa Sumenep) di Surabaya, alumnus Pondok Pesantren Nasy-atul Muta’allimin Gapura, Sumenep

BIOGRAFI SYEKH NAWAWI AL-BANTANI

Bismillahirrahmanirrahiim
Allahummaftahli Futuuhal ‘Arifin

Imam Muhamad Nawawi al-Bantani (Sufi dan Cendekiawan Dunia Asal Indonesia)

Beliau adalah seorang ulama besar Indonesia asal Banten pada abad ke-19, yang dikenal juga sebagai salah seorang imam Masjidil Haram Mekah. Sebagai ulama ia dikenal mempunyai waasan yang luas, pikiran-pikiran yang tajam, sikap rendah hati dan sederhana. Nama lengkapnya Abu Abdil Mu’ti Muhammad Nawawi ibnu Umar ibn ‘Arabi at-Tanari al-Bantani al-Jawi. Sehari-hari ia dipanggil Syekh Nawawi al-Bantani, ia juga popular dengan julukan Sayyidil ‘Ulama al-Hijaz.

Syekh Nawawi al-Bantani dilahirkan pada 1813 (1230 H) di Desa Tanara (Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang – Banten). Ia berasal dari keluarga muslim yang taat beragama. Ayahnya bernama Umar ibnu ‘Arabi, seorang penghulu Kecamatan di Tanara. Secara geneologi, beliau merupakan salahsatu ketutunan Maulana Hasanudin (Sultan Hasanudin) putra Sunan Gunung Jati dari Cirebon (Maulana Syarif Hidayatullah).

Syekh Nawawi al-Bantani memperoleh pendidikan awal dari sang ayah di rumah. Orang tuanya memberikan pelajaran bahasa Arab, Fikih, dan Ilmu Tafsir. Sejak kecil Syekh Nawawi al-Bantani dikenal rajin dan tidak suka berpaku tangan. Kecerdasan dan sifat kritisnya pun sudah tampak sejak masih kanak-kanak. Dengan berbekal didikan ayahnya sendiri, beliau kemudian berguru pada beberapa kiai yang berpengaruh saat itu, seperti Kiai Sahal dari Banten dan Kiai Yusuf dari Purwakarta. Pendidikan dari kedua ulam tersebut ia peroleh sebelum ia berumur 15 tahun. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, beliau sanggup menyerap berbagai cabang ilmu yang sesungguhnya lebih pantas diajarkan kepada orang dewasa. Bahkan pada usia 8 tahun ia sudah menghapal seluruh isi Al-Qur’an.

Pada usia 15 tahun ia bertekad melaksanakan ibadah haji. Ia berangkat seorang diri tanpa bekal yang cukup sebagai layaknya orang yang akan bepergian jauh. Seusai menunaikan haji, ia tertarik untuk tetap tinggal di Mekah dengan maksud menuntut ilmu. Di tanah suci  itulah ia bertemu dengan Syekh Khatib Sambas, Abdul Gani Bima, Yusuf Sumbulawesi, Syekh Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Syekh Ahmad Zaini Dahlan dan Syekh Abdul Hamid Dagestani. Sebagian mereka itu adalah ulama-ulama besar asal Indonesia yang bermukim di Mekah.

Selama tiga tahun, Beliau menuntut ilmu di tanah suci, yang dipelajarinya terutama ilmu ushuluddin, fikih, balaghah, dan mantiq. Di antara guru-gurunya itu ada dua yang cukup mewarnai prinsip keilmuan dan jalan pikiran Syekh Nawawi al-Bantani, yaitu Syekh Nahrawi dan Syekh Ahmad Dimyati. Kedua ulama itulah yang mula-mula membimbingnya dalam berbagai disiplin ilmu. Selain di Mekah ia juga pernah belajar di Madinah pada seorang ulama bernama Syekh Muhammad Khatib al-Hanbali.

Setelah tiga tahun menimba ilmu di Mekah dan Madinah, Syekh Nawawi al-Bantani kembali ke Indonesia, ke desa kelahirannya, Tanara. Di sana ia mulai mengajarkan ilmunya sekaligus melaksanakan dakwah. Belum berapa lama ia mengajar, namanya sudah terkenal ke mana-mana. Pengaruhnya pun semakin besar di kalangan masyakat. Kemasyhuran beliau dinilai pihak penjajah Belanda sebagai suatu hal yang membahayakan dan mengganggu stabilitas politiknya. Karena itu, Belanda melakukan pengawasan ketat terhadap seluruh aktivitas Syekh Nawawi di tanah air.

Menyadari ruang geraknya semakin sempit, Syekh Nawawi merasa tidak betah tinggal di kampong halaman. Ia pun memutuskan kembali ke Mekah. Di Mekah ia kembali menemui guru-gurunya untuk memperdalam ilmu yang pernah dipelajarinya. Pada masa antara ahun 1830 dan 1860 ia habiskan waktunya untuk menuntut ilmu kepada sejumlah ulama terkemuka di Mekah.

Setelah kurang lebih 30 tahun mendalami mendalami ilmu-ilmu keagamaan dari sejumlah ulama ternama, tidak mengherankan bila ia menguasai hampir seluruh cabang ilmu agama, seperti ilmu tafsir, ilmu tauhid, tasawuf, fikih, akhlak, dan bahasa Arab. Penguasaannya terhadap bidang-bidang ilmu yang disebutkan tadi terlihat jelas dalam karya-karya tulisnya yang cukup banyak. Menurut suatu sumber ia meninggalkan sebanyak 115 buah kitab yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu agama.

Karya-karyanya antara lain dapat disebutkan sebagai berikut :
  • Dalam cabang tafsir karyanya yang menonjol adalah kitab “Tafsir al-Munir” (Yang Memberi Sinar)
  • Dalam bidang tasawuf, diantaranya kitab “Salalim al-Fudala” (Tangga bagi Orang-orang Mulia) yang merupakan syarah dari kitab “Hidayah al-Azkiya” (Petunjuk bagi Orang-orang Pintar), kitab “Misbah al-Zalam” (Pelita Kegelapan), dan kitab “ Bidayah al-Hidayah” (Permulaan Hidayah)
  • Dalam bidang hadis, antara lain kitab “Tanqih al-Qaul” (Meluruskan Pendapat) yang merupakan syarah dari kitab “Lubab al-Hadis” (Intisari Hadis), karangan Imam as-Suyuthi.
  • Dalam bidang tauhid, antara lain “Kitab Fathal – Majid” (Pembuka bagi Yang Mulia), syarah dari “Kitab as-Durr al-FArid fi at-Tauhid” (Mutiara yang Berharga dalam Tauhid), dan “Kitab Tijan ad-Darari”, syarah dari “Kitab fi at-Tauhid”, karya al-Bajuri.
  • Dalam bidang tarikh, antara lain “kitab al-Ibriz ad-Dani” (Emas yang Dekat), “Bugyah al-Awwam” (Kebodohan Orang Awam), dan “Fath as-Samad” (Pembuka untuk Mencapai Yang Maha Memberi)
  • Dalam bidang fikih, antara lain “kitab Sullam al-Munajah” (Tangga untuk Munajah), “at-Tausyih” (Pemakaian Selempang), syarah dari “kitab Fath al-Qarib al-Mujib” (Pembuka untuk Mencapai Yang Maha Dekat dan Maha Mengabulkan) karya Ibnu Qasun al-Gazi, “as-Simar al-Yani’ah” (Buah yang Matang), “al-Fath al-Mujib” (buku mengenai manasik haji).
  • Dalam bidang bahasa dan kesusasteraan Arab, antara lain “kitab Fath Gafr al-Khatiyyah” (Pembuka untuk Mencapai Yang Maha Mengampuni Kesalahan) dan “Lubab al-Bayan” (Inti Penjelasan).

Keistimewaan karya-karya tulis Syekh Nawawi, terutama terletak pada kemudahan bahasanya sehingga mudah dicerna oleh pembacanya. Karya-karya tersebut banyak digunakan di Timur Tengah, termasuk di Mesir. Dilihat dari karyanya yang demikian banyak, pantaslah ia disebut sebagai “Bapak Kitab Kuning” bagi Indonesia.

Sebagai pendidik, beliau mengawali karirnya dengan membuka pengajian di serambi rumahnya di perkampungan Syi’ib Ali, dekat Majidil Haram, Mekah. Mula-mula muridnya hanya beberapa orang, tetapi dalam waktu singkat ia segera menjadi populer dan murid-muridnya pun berdatangan dari berbagai belahan dunia, terutama setelah ia diangkat menjadi imam Masjidil Haram. Sejak itulah ia disapa dengan gelaran Syekh Nawawi.

Diantara murid-muridnya adalah KH Kholil Bangkalan-Madura, KH Hasyim Asy’ari Tebuireng –Jombang, KH Asnawi dari Kudus-Jawa Tengah, KH Asnawi dari Caringin – Labuan, KH TB. Bakri dari Sempur-Purwakarta, dan KH Arsyad Tawil-Banten. Nama-nama murid Syekh Nawawi yang disebutkan pada umumnya dikenal sebagai pendiri dari beberapa pesantren tertua dan terkenal di Indonesia. Salah seorang muridnya, KH Dawud yang berasal dari Perak-Malaysia, juga menjadi ulama kenamaan di tempat asalnya.

Sebagai ulama, Syekh Nawawi amat besar perhatiannya terhadap dunia pendidikan dan itulah yang ia tekankan pada murid-muridnya, yaitu agar mengembangkan dunia pendidikan. Menurutnya, ilmu pengetahuan mampu menyebarluaskan keutamaan. Melalui pendidikan masyarakat akan sanggup mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam diri mereka serta dapat membersihkan jiwa dari kebodohan dan sikap bertaklid buta. Pokok-pokok pandangannnya melalui keilmuan meliputi usul asy-syari’ah, ijtihad dan perilaku sosial. Menurutnya, substansi dari usul asy-syari’ah terdiri dari empat hal, yaitu Al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas.

Dalam bidang dakwah Syekh Nawawi memiliki konsep yang cukup artikulatif, yaitu membagi tiga kelompok manusia bagi sasaran dakwahnya.
Pertama : Kelompok manusia yang memiliki akal sehat, mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas, cerdas, jujur dalam berfikir, dan sanggup melakukan kajian berbagai masalah keislaman. Terhadap kelompok ini beliau menyeru dengan jalan hikmah.
Kedua : Kelompok manusia yang memiliki pandangan dan pengalaman, tetapi pola pikirnya kacau dan tidak sistematis. Terhadap kelompok ini ia pakai dakwah dalam bentuk pemberian nasihat-nasihat yang baik dan penjelasannya yang mudahj dipahami.
Ketiga : Kelompok manusia yang bersikap apriori dan suka berdebat tanpa landasan pemikiran yang jelas. Terhadap kelompok terakhir ini ia pun menyampaikan dakwah dengan cara mendebat pendapat-pendapat mereka, tetapi dengan cara yang baik.

Tentang tarekat, dalam bukunya “Bahjatul Wasail” Beliau dengan tegas mengatakan “Syafi’i adalah madzhabku dan Qadiriyah adalah tarekatku” Tepai, ia tidak menganjurkan kepada murid-muridnya untuk masuk tarekat tertentu, dan sebaliknya juga tidak melarang mereka masuk salah satu tarekat yang ada.

------------
    Sumber : Seri Ilmuwan Muslim Pengukir Sejarah, karya Saiful Hadi, Ciptamedia Binanusa (Hal 376-381)