Bismillahirrahmanirrahiim
Allahummaftahli Futuuhal ‘Arifin
Imam Muhamad Nawawi al-Bantani (Sufi dan Cendekiawan Dunia Asal Indonesia)
Beliau adalah seorang ulama besar Indonesia asal Banten pada abad ke-19, yang dikenal juga sebagai salah seorang imam Masjidil Haram Mekah. Sebagai ulama ia dikenal mempunyai waasan yang luas, pikiran-pikiran yang tajam, sikap rendah hati dan sederhana. Nama lengkapnya Abu Abdil Mu’ti Muhammad Nawawi ibnu Umar ibn ‘Arabi at-Tanari al-Bantani al-Jawi. Sehari-hari ia dipanggil Syekh Nawawi al-Bantani, ia juga popular dengan julukan Sayyidil ‘Ulama al-Hijaz.
Syekh Nawawi al-Bantani dilahirkan pada 1813 (1230 H) di Desa Tanara (Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang – Banten). Ia berasal dari keluarga muslim yang taat beragama. Ayahnya bernama Umar ibnu ‘Arabi, seorang penghulu Kecamatan di Tanara. Secara geneologi, beliau merupakan salahsatu ketutunan Maulana Hasanudin (Sultan Hasanudin) putra Sunan Gunung Jati dari Cirebon (Maulana Syarif Hidayatullah).
Syekh Nawawi al-Bantani memperoleh pendidikan awal dari sang ayah di rumah. Orang tuanya memberikan pelajaran bahasa Arab, Fikih, dan Ilmu Tafsir. Sejak kecil Syekh Nawawi al-Bantani dikenal rajin dan tidak suka berpaku tangan. Kecerdasan dan sifat kritisnya pun sudah tampak sejak masih kanak-kanak. Dengan berbekal didikan ayahnya sendiri, beliau kemudian berguru pada beberapa kiai yang berpengaruh saat itu, seperti Kiai Sahal dari Banten dan Kiai Yusuf dari Purwakarta. Pendidikan dari kedua ulam tersebut ia peroleh sebelum ia berumur 15 tahun. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, beliau sanggup menyerap berbagai cabang ilmu yang sesungguhnya lebih pantas diajarkan kepada orang dewasa. Bahkan pada usia 8 tahun ia sudah menghapal seluruh isi Al-Qur’an.
Pada usia 15 tahun ia bertekad melaksanakan ibadah haji. Ia berangkat seorang diri tanpa bekal yang cukup sebagai layaknya orang yang akan bepergian jauh. Seusai menunaikan haji, ia tertarik untuk tetap tinggal di Mekah dengan maksud menuntut ilmu. Di tanah suci itulah ia bertemu dengan Syekh Khatib Sambas, Abdul Gani Bima, Yusuf Sumbulawesi, Syekh Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Syekh Ahmad Zaini Dahlan dan Syekh Abdul Hamid Dagestani. Sebagian mereka itu adalah ulama-ulama besar asal Indonesia yang bermukim di Mekah.
Selama tiga tahun, Beliau menuntut ilmu di tanah suci, yang dipelajarinya terutama ilmu ushuluddin, fikih, balaghah, dan mantiq. Di antara guru-gurunya itu ada dua yang cukup mewarnai prinsip keilmuan dan jalan pikiran Syekh Nawawi al-Bantani, yaitu Syekh Nahrawi dan Syekh Ahmad Dimyati. Kedua ulama itulah yang mula-mula membimbingnya dalam berbagai disiplin ilmu. Selain di Mekah ia juga pernah belajar di Madinah pada seorang ulama bernama Syekh Muhammad Khatib al-Hanbali.
Setelah tiga tahun menimba ilmu di Mekah dan Madinah, Syekh Nawawi al-Bantani kembali ke Indonesia, ke desa kelahirannya, Tanara. Di sana ia mulai mengajarkan ilmunya sekaligus melaksanakan dakwah. Belum berapa lama ia mengajar, namanya sudah terkenal ke mana-mana. Pengaruhnya pun semakin besar di kalangan masyakat. Kemasyhuran beliau dinilai pihak penjajah Belanda sebagai suatu hal yang membahayakan dan mengganggu stabilitas politiknya. Karena itu, Belanda melakukan pengawasan ketat terhadap seluruh aktivitas Syekh Nawawi di tanah air.
Menyadari ruang geraknya semakin sempit, Syekh Nawawi merasa tidak betah tinggal di kampong halaman. Ia pun memutuskan kembali ke Mekah. Di Mekah ia kembali menemui guru-gurunya untuk memperdalam ilmu yang pernah dipelajarinya. Pada masa antara ahun 1830 dan 1860 ia habiskan waktunya untuk menuntut ilmu kepada sejumlah ulama terkemuka di Mekah.
Setelah kurang lebih 30 tahun mendalami mendalami ilmu-ilmu keagamaan dari sejumlah ulama ternama, tidak mengherankan bila ia menguasai hampir seluruh cabang ilmu agama, seperti ilmu tafsir, ilmu tauhid, tasawuf, fikih, akhlak, dan bahasa Arab. Penguasaannya terhadap bidang-bidang ilmu yang disebutkan tadi terlihat jelas dalam karya-karya tulisnya yang cukup banyak. Menurut suatu sumber ia meninggalkan sebanyak 115 buah kitab yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu agama.
Karya-karyanya antara lain dapat disebutkan sebagai berikut :
- Dalam cabang tafsir karyanya yang menonjol adalah kitab “Tafsir al-Munir” (Yang Memberi Sinar)
- Dalam bidang tasawuf, diantaranya kitab “Salalim al-Fudala” (Tangga bagi Orang-orang Mulia) yang merupakan syarah dari kitab “Hidayah al-Azkiya” (Petunjuk bagi Orang-orang Pintar), kitab “Misbah al-Zalam” (Pelita Kegelapan), dan kitab “ Bidayah al-Hidayah” (Permulaan Hidayah)
- Dalam bidang hadis, antara lain kitab “Tanqih al-Qaul” (Meluruskan Pendapat) yang merupakan syarah dari kitab “Lubab al-Hadis” (Intisari Hadis), karangan Imam as-Suyuthi.
- Dalam bidang tauhid, antara lain “Kitab Fathal – Majid” (Pembuka bagi Yang Mulia), syarah dari “Kitab as-Durr al-FArid fi at-Tauhid” (Mutiara yang Berharga dalam Tauhid), dan “Kitab Tijan ad-Darari”, syarah dari “Kitab fi at-Tauhid”, karya al-Bajuri.
- Dalam bidang tarikh, antara lain “kitab al-Ibriz ad-Dani” (Emas yang Dekat), “Bugyah al-Awwam” (Kebodohan Orang Awam), dan “Fath as-Samad” (Pembuka untuk Mencapai Yang Maha Memberi)
- Dalam bidang fikih, antara lain “kitab Sullam al-Munajah” (Tangga untuk Munajah), “at-Tausyih” (Pemakaian Selempang), syarah dari “kitab Fath al-Qarib al-Mujib” (Pembuka untuk Mencapai Yang Maha Dekat dan Maha Mengabulkan) karya Ibnu Qasun al-Gazi, “as-Simar al-Yani’ah” (Buah yang Matang), “al-Fath al-Mujib” (buku mengenai manasik haji).
- Dalam bidang bahasa dan kesusasteraan Arab, antara lain “kitab Fath Gafr al-Khatiyyah” (Pembuka untuk Mencapai Yang Maha Mengampuni Kesalahan) dan “Lubab al-Bayan” (Inti Penjelasan).
Keistimewaan karya-karya tulis Syekh Nawawi, terutama terletak pada kemudahan bahasanya sehingga mudah dicerna oleh pembacanya. Karya-karya tersebut banyak digunakan di Timur Tengah, termasuk di Mesir. Dilihat dari karyanya yang demikian banyak, pantaslah ia disebut sebagai “
Bapak Kitab Kuning” bagi Indonesia.
Sebagai pendidik, beliau mengawali karirnya dengan membuka pengajian di serambi rumahnya di perkampungan Syi’ib Ali, dekat Majidil Haram, Mekah. Mula-mula muridnya hanya beberapa orang, tetapi dalam waktu singkat ia segera menjadi populer dan murid-muridnya pun berdatangan dari berbagai belahan dunia, terutama setelah ia diangkat menjadi imam Masjidil Haram. Sejak itulah ia disapa dengan gelaran Syekh Nawawi.
Diantara murid-muridnya adalah KH Kholil Bangkalan-Madura, KH Hasyim Asy’ari Tebuireng –Jombang, KH Asnawi dari Kudus-Jawa Tengah, KH Asnawi dari Caringin – Labuan, KH TB. Bakri dari Sempur-Purwakarta, dan KH Arsyad Tawil-Banten. Nama-nama murid Syekh Nawawi yang disebutkan pada umumnya dikenal sebagai pendiri dari beberapa pesantren tertua dan terkenal di Indonesia. Salah seorang muridnya, KH Dawud yang berasal dari Perak-Malaysia, juga menjadi ulama kenamaan di tempat asalnya.
Sebagai ulama, Syekh Nawawi amat besar perhatiannya terhadap dunia pendidikan dan itulah yang ia tekankan pada murid-muridnya, yaitu agar mengembangkan dunia pendidikan. Menurutnya, ilmu pengetahuan mampu menyebarluaskan keutamaan. Melalui pendidikan masyarakat akan sanggup mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam diri mereka serta dapat membersihkan jiwa dari kebodohan dan sikap bertaklid buta. Pokok-pokok pandangannnya melalui keilmuan meliputi
usul asy-syari’ah, ijtihad dan perilaku sosial. Menurutnya, substansi dari
usul asy-syari’ah terdiri dari empat hal, yaitu
Al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas.
Dalam bidang dakwah Syekh Nawawi memiliki konsep yang cukup artikulatif, yaitu membagi tiga kelompok manusia bagi sasaran dakwahnya.
Pertama : Kelompok manusia yang memiliki akal sehat, mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas, cerdas, jujur dalam berfikir, dan sanggup melakukan kajian berbagai masalah keislaman. Terhadap kelompok ini beliau menyeru dengan jalan hikmah.
Kedua : Kelompok manusia yang memiliki pandangan dan pengalaman, tetapi pola pikirnya kacau dan tidak sistematis. Terhadap kelompok ini ia pakai dakwah dalam bentuk pemberian nasihat-nasihat yang baik dan penjelasannya yang mudahj dipahami.
Ketiga : Kelompok manusia yang bersikap apriori dan suka berdebat tanpa landasan pemikiran yang jelas. Terhadap kelompok terakhir ini ia pun menyampaikan dakwah dengan cara mendebat pendapat-pendapat mereka, tetapi dengan cara yang baik.
Tentang tarekat, dalam bukunya “
Bahjatul Wasail” Beliau dengan tegas mengatakan “
Syafi’i adalah madzhabku dan Qadiriyah adalah tarekatku” Tepai, ia tidak menganjurkan kepada murid-muridnya untuk masuk tarekat tertentu, dan sebaliknya juga tidak melarang mereka masuk salah satu tarekat yang ada.
------------
Sumber : Seri Ilmuwan Muslim Pengukir Sejarah, karya Saiful Hadi, Ciptamedia Binanusa (Hal 376-381)